RABU, 25 Agustus 2010 | 1079 Hits
Meratap di Lembah Kemiskinan, Tersesat di Lorong-lorong Panjang Kekecewaan
Menelisik Kabupaten Maluku Barat Daya adalah membuka sebuah tirai ironi. Sebuah fenomena yang paradoks antara kenyataan (realita) dan harapan. Kaya akan sumber daya alam (SDA), tapi 57 persen rakyat di wilayah peralihan Keresidenan (Residentie) Timor pada 1926 itu masih terbelenggu rantai kemiskinan
ADA tebaran sukacita ketika Penjabat Bupati Maluku Barat Daya (MBD) Angky Renjaan dalam keterangannya kepada pers di Wonreli, Pulau Kisar, sehari sebelum perayaan detik-detik proklamasi RI ke-65 dan penutupan Sail Banda 2010 di dekat Lapter Jhon Bakker, Desa Purpura Kisar, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan, memprediksi bahwa pada 2016 mendatang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten MBD bakal menjadi APBD tertinggi di Provinsi Maluku. Mungkin lebih tinggi dari raihan APBD Kabupaten Seram Bagian Timur dan Kabupaten Kepulauan Aru —yang lebih dulu dimekarkan pada 2003 silam— yang juga punya sumber daya alam yang melimpah. Estimasi Renjaan tentu didasari pada dampak positif dari proses pengelolaan Gas Alam Cair (Liquid Natural Gas/LNG) Masela, Kecamatan Babar Timur, Kabupaten MBD. Maklum, dari hak partisipasi (Participating Interest) pengelolaan LNG Masela, kabupaten pemilik akan memperoleh 10 persen atau setara dengan 1-5 triliun setelah dikonversikan dengan hak yang bakal diperoleh Pemerintah Provinsi Maluku sebesar Rp 15 triliun. Penulis berkesimpulan jika nilai nominal itu dikombinasikan dengan pengelolaan emas dan tembaga di Wetar dan Romang, hasil pembudidayaan rumput laut di Luang, Wetar, dan lokasi lain di MBD, donasi pendapatan asli wilayah itu akan bergelimang rupiah, bahkan dolar AS, dolar Australia hingga mata uang Timor Leste. Fantastis memang, jika harapan rakyat akan datangnya kesejahteraan menjadi sebuah keniscayaan atau kondisi yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Apakah semua impian rakyat MBD bisa terobati? Ini pertanyaan ringkas bahkan sederhana. Tapi tak mudah untuk menjawabnya. Mungkin hampir miris dengan rakyat di wilayah lain di Tanah Air yang kaya akan hasil tambang, rakyat MBD pun masih menyimpan ’’luka kronis’’ akibat pengerukan emas oleh PT Prima Lirang Ltd selama hampir 20 tahun (sudah tak beroperasi sejak awal 2000-an), di mana kawasan konservasi di Pulau Lurang, dan lokasi lain di Pulau Wetar, Kecamatan Wetar, rusak berat. Pemicu luka adalah ketika meninggalkan Wetar, investor asal Australia tak menghadiahi sebuah bangunan sekolah, jalan, jembatan, Puskesmas, atau infrastruktur publik yang representatif. Jangan heran kalau sebelum pemekaran MBD, ada sekolah di Wetar maupun di Letsiara (Tepa) yang atapnya terbuat dari daun kelapa dan kerap dijadikan tempat berteduh hewan ternak ketika musim penghujan tiba. Orang Wetar tak diberikan beasiswa untuk melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi di luar MBD. Beasiswa PT Prima Lirang Ltd hanya diberikan bagi putra-putra MBD yang studi dan lebih banyak menyalurkan ilmu kepada rakyat di wilayah lain di Tanah Air. Ibarat ganti kulit, tapi isinya sama. Setelah hengkangnya Prima Lirang Ltd, datang PT Batu Tua Kharisma Permai. Mereka datang dengan tujuan mengeksplorasi tembaga. Meski begitu, rakyat telah menaruh curiga. PT Batu Tua Kharisma Permai dianggap ’’antek-antek neoliberalisme’’ yang menjalankan kapitalisme gaya baru, namun menghancurkan harapan masyarakat setempat. Setelah lekuk-lekuk perut bumi Wetar dijamah dengan rakus, ’’keperawanan’’ Pulau Romang pun kini dijelajahi untuk memperoleh emas dan hasil tambang lain. Di bagian lain, PT Syabas Energi dan PT Maluku Energi dipercayakan mengelola LNG Masela. Pengeksplorasian di 3 sumur Abadi dengan hasil puluhan juta barel per tahun, menjadi ’’bargaining tersendiri’’ bagi Pemerintah Kabupaten MBD maupun Pemprov Maluku. Apalagi kalau bukan wilayah itu menjadi beranda depan NKRI di depan pengaruh Timor Leste dan Australia. ’’Maluku kaya akan sumber daya alam dan potensi pertambangan. Dan itu saatnya dikelola dengan baik untuk peningkatan kesejahteraan rakyat,’’ seru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sesaat sebelum mengresmikan puncak Sail Banda 2010 di pelabuhan Yos Sudarso Ambon, 3 Agustus lalu. Salah satu isyarat Presiden SBY, adalah potensi LNG Masela yang menjanjikan itu. Terlepas dari sinyal positif Presiden SBY, yang masih dikhawatirkan rakyat MBD adalah ketika masuknya investor justru tidak membawa perbaikan ekonomi, tapi kembali menjerumuskan mereka ke dalam lembah ketidakpastian. Sejatinya jangan sampai ketika sumur-sumur abadi di Blok Masela sudah dikuras habis, baru investor beralibi sumur-sumur tersebut sudah kering dan tak laku dijual ke pasar internasional. Sebagai perbandingan, tahun 2009, sesuai laporan Kompas, ada 16 sumur Migas di Tanah Air yang sudah kering namun masih dijual ke pasar internasional. Praktis akan sepi bahkan tak digubris peminat terutama pemilik saham internasional. ‘’Kita berharap LNG Masela bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat di wilayah ini, terutama masyarakat MBD, karena masyarakat di sana masih hidup di bawah garis kemiskinan,’’ seru Stevanus ’’Nus’’ Tiwery, komponen masyarakat Masela dalam perbincangan dengan penulis di Ambon belum lama ini. Proses pipanisasi di lauta, bukan saja menyelamatkan warga Masela dan pulau-pulau sekitar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) dari ancaman pembangunan pabrik-pabrik megah, tapi juga menghindari masyarakat sekitar dari dampak pembuangan limbah pabrik pupuk, pabrik kertas, dan pabrik penyokong LNG. Berapa pun nilai nominal dari butir-butir Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu dan investor asal Jepang, itu bukan harga mati. Jaminan akuratnya adalah ada konpensasi fisik berupa pembangunan infrastruktur publik bagi warga MBD dari pengeksploitasian SDA di wilayah yang dulu bernama Onderafdeling Zuid Western Eilanden atau Selatan Daya itu. Sebab, jika tak ada garansi tertulis rakyat MBD akan kembali tersesat di lorong-lorong keragu-raguan dan kecemasan, dan kembali terbelenggu di atas balada klasik anak negeri ‘’Merana di Tengah Kelimpahan Sumber Daya Alam’’. Itu artinya, menjadi tugas berat bagi DPRD MBD masa bakti 2009-2014 untuk melakukan fungsi pengawasan dan mengeluarkan ’’jurus-jurus bargaining’’ sehingga ada multi effect dibalik pengelolaan Blok Masela dan blok lainnya serta emas dan kandungan mineral lain di perut bumi MBD. Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) MBD juga dituntut punya ‘’sense of belonging’’ (perasaan memiliki) dan ‘’sense of crysis’’ (perasaan akan krisis yang lagi mendera) agar mampu mengartikulasikan kehendak masyarakat setempat. Tak perlu berlagak koboi, memakai kaca mata hitam di tengah teriknya mentari MBD. Hilangkan dulu perilaku narsistik dan hedonistik (mau enak-enak/glamour), dan harus mampu menyusun konsep pembangunan yang terarah, sistematis, dan tepat sasaran. MBD ibarat surga atau firdaus di seberang lautan. Wilayah itu hanya bisa dibangun oleh para pemimpin yang tahu melayani, dan bisa menyelimuti mereka di tengah kedinginan. Rakyat MBD tak membutuhkan tipikal pemimpin yang arogan, alergi kritik, suka uber janji, pecundang, pengkhianat, dan perampok. Untuk tipe pemimpin yang terakhir patut diwaspadai karena dikhawatirkan akibat ’’balas budi’’ dan ’’balas jasa’’ dalam Pilkada MBD pada 20 November 2010, seluruh kekayaan dan pulau-pulau MBD digadaikan kepada investor domestik dan luar negeri. Jeritan rakyat MBD selama 65 tahun terakhir adalah bentangan tali-temali kesengsaraan dan simpul-simpul kepedihan di antara bongkahan-bongkahan emas, tembaga, mangan, dan mineral lain, serta dikelilingi luasnya lautan yang menyimpan jutaan kaki kubi Migas di dasar bumi. Dengan begitu pengelolaan SDA di wilayah MBD diharapkan tak membuka ‘’prahara baru’’ yang nantinya menjadi bumerang mematikan bagi pemerintah di forum internasional. Ingat, pengelolaan pulau-pulau perbatasan NKRI macam MBD tak cukup dengan penancapan bendera Merah Putih di Pantai Uhun, Desa Purpura pada 17 Agustus 2010, atau ansich melalui pendekatan keamanan (security approach). Kesejahteraan dan aroma keadilan adalah bahasa ‘’ideologis’’ yang afdol di ‘’Zaman Luna Maya dan Ariel Peterpan’’ agar kelak pemerintah tak lagi memungut rasa malu karena lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia pada 2002 silam. Ada 41 ribu warga MBD (dari 72 ribu jiwa) yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka butuh program pemberdayaan yang nyata dan terintegrasi antardepartemen. Pengerukan emas di Wetar sudah menjadi akumulasi kekecewaan warga MBD yang masih tetap setia dipangku ibu pertiwi bernama Indonesia. Haruskah pengelolaan LNG Masela menjadi episode kedua dari akumulasi kekecewaan panjang tersebut? Praktis sangat dibutuhkan komitmen pemerintah dan orang-orang yang dipercayakan sebagai pembawa biduk MBD lima tahun ke depan.
Sumber : Ambon express
wah, ironis memang, bangsa ini penuh dengan ironis..
BalasHapustapi untuk orang MBD, jangan mau ketinggalan, belajar untuk berkembang, terbuka, dan tetap cinta daerah.. biarlah kekayaan alam yang dimiliki oleh daerah MBD diperuntukan bagi kepentingan masyarakat. ini lah yang paling penting,bukan kepentingan pejabat, petinggi, bisnimen/investor.. jadi tolong dikelolah untuk kepentingan seluruh masayarakat. kalau rakyat maju maka daerah sejahtera..
hilangkanlah tangis yang selama ini ada di mata para ibu ketika menyusui kita.. jagung dan ikanlah yang buat kita jadi orang-orang pintar, jadi jangan lupa daerah kita.. MBD, beta pasti kembali.